Rambut Rontok Saat Haidl, Disucikan atau Dibuang?

Rambut Rontok Saat Haidl, Disucikan atau Dibuang?

Oleh:

Nur Kholifatul Hikmawati (15110133)

Mahasiswa PAI-B Angkatan 2015

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Sangatlah tidak asing mendengar sebuah permasalahan dimana aturan seorang wanita yang sedang haidl diharuskan menyisihkan rambut yang rontok. Berkaitan dengan aturan ini tidak jauh juga seperti peraturan tidak bolehkannya memotong kuku ataupun mencukur bulu pada masa haidl tersebut. Permasalahan ini memang sangat penting bagi setiap wanita muslimah untuk mengetahuinya. Banyak sekali yang masih bingung dari mulai anak-anak , dewasa hingga ibu-ibu dalam permasalahan pengumpulan rambut pada saat masa haidl yang dialaminya. Nah, lalu bagaimana? Apakah wanita harus dengan sangat teliti untuk memperhatikan setiap helai rambut yang rontok, lalu dikumpulkan menjadi satu? Apakah harus mensucikan rambut yang rontok pada saat kita mandi besar?

...........لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا           

Artinya : “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Allah tidak akan membebani umatnya melebihi dengan kemampuan dan  kesanggupan yang dimilikinya. Manusia memiliki kemampuan dan kesanggupan yang berbeda yang sesuai dengan ketetapan Allah SWT.

صحيح البخاري (1/ 474)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa dengan aku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya: “Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan pada beliau. Beliau lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.”(H.R.Bukhari)

Mengumpulkan rambut rontok pada saat haidl tidak ada syariat yang menyatakan hal sedemikian rupa. Al-Qur’an da Sunah juga tidak mendasarkan atas permasalahan tersebut. Berbagai alasan  menyatakan bahwasanya wanita haidl adalaha najis. Bagi wanita muslimah tidaklah itu najis, karena mereka adalah mukmin sekaipun nantinya dalam keadaan tidak hidup mereka tetap akan suci. Inilah yang alasan yang menyatakan apabila ada suatu hal yang terpotong dari tubuh pada saat masa haidl harus di sucikan terlebih dahulu.

Wanita haidl ketika menyisir rambut dan rambut itu rontok dihukumi dengan harus disucikan terlebih dahulu rambut yang rontok tersebut, maka hukum itu tidak bisa digunakan atau tidak bisa dipakai. Karena penetapan hukum permasalahan ini bukan lah ketetapan hukum syara’ atau penggalian hukum, melainkan penetapan hukum secara logika. Sedangkan hukum syara’ tidaklah diperbolehkan dengan logika, melainkan diharuskan dengan penggalian hukum (istinbath).

Diwajibkannya mandi besar adalah ketika kita nifas, haidl, keluarnya mani, bersenggama suami istri, dan setelah melahirkan. Mandi besar terlaksanakan ketika ingin melakukan sesuatu yang suci, semisal sholat. Pada saat mandi besar semua anggota yang terpakai untuk sholat haruslah bersih dan suci. Anggota badan yang masih menyambung pada tubuh kita sehelai pun harus juga ikut disucikan. Kalau seandainya seperti rontokan rambut pada saat kita menyisir apakah perlu disucikan?

Rontokan rambut saat menyisir ataupun kuku yang patah dikarenakan tidak sengaja tidak perlu untuk disucikan. Karena tidak lagi menempel pada anggota tubuh , dan tidak terpakai lagi untuk sholat. Karena memang sudah lepas dari anggota tubuh.

Jadi  yang wajib disucikan adalah hanyya anggota tubuh yang akan dipakai pada saat waktu sholat. Keyakinan untuk mensucikan rambut yang rontok ataupun mensucikan kuku yang terpotong adalah suatu keyakinan yang tidak dapat dipegang. Karena tidak adanya riwayat yang menyatakan dari Al-Qur’an ataupun As-Sunah.

Wallahua’lam.